MUSEUM ADAM MALIK
MUSIUM ADAM MALIK
RMOL. Bangunan berlantai dua di Jalan Diponegoro 29, Menteng, Jakarta Pusat itu tampak tak terawat. Namun kemegahan dan keunikan model rumah peninggalan Belanda itu masih dapat terlihat jelas.
Sisi kiri rumah yang berdiri di atas lahan seluas 3.000 meter persegi itu berbentuk bundar. Dindingnya dipenuhi jendela dan kaca, khas bangunan tempo dulu.
Rumah ini dikelilingi pagar tembok yang dicat putih. Pagar yang tinggi menghalangi pandangan dari luar. Beberapa pepohonan keras terlihat tumbuh berjejer di depan pagar yang dijadikan pedestrian.
Gerbang besar dari seng yang dicat biru menutupi jalan masuk ke rumah ini. Gerbangnya tak dikunci tapi ditutup rapat. Saat dibuka terlihat pos jaga di sebelah kanan pekarangan. Pos ini ditunggui dua orang sekuriti.
Pekarangan rumah ini cukup luas. Di bagian kanan yang menempel dengan depan pembatas rumah sebelah, terlihat ada bekas bongkaran bangunan. Namun puing-puing bekas bongkarannya sudah diangkuti. Beberapa pekerja bangunan terlihat sibuk membersihkan area itu dari sisa-sisa bangunan.
Pohon mangga, jambu biji dan beringin yang tidak terlalu besar, tumbuh subur di pekarangan. Pohon-pohon berbatang keras itu ditanam membentuk barisan memanjang ke belakang.
Beberapa terlihat mobil parkir di halaman rumah tua ini. Seorang petugas sekuriti buru-buru menutup pintu gerbang, lalu bergegas memasuki gedung hingga ke bagian belakang, menemui seseorang.
Kesibukan tidak hanya di luar, dari dalam rumah terdengar raungan mesin. Empat pekerja terlihat sedang memoles lantai yang terbuat dari marmer. Cairan putih dilumurkan ke marmer. Mesin pel besar dipakai untuk mengosok-gosokan cairan itu di atas marmer hingga mengkilat.
Ruangan yang lantai marmernya sedang dipoles itu terlihat remang. Penerangannya menggunakan dua lampu kecil. Sinar matahari yang menembus jendela membantu penerangan di situ.
Bagian dalam rumah itu dicat putih. Namun catnya sudah kusam. Tangga besar yang juga dilapisi marmer berada di depan ruangan yang mirip aula itu.
Di lantai satu, ada tiga kamar ukuran besar, berjejer di sebelah kanan. Dua kamar tertutup rapat. Kamar di bagian tengah terlihat terbuka. Melongok ke dalam tampak dua pria memandangi layar komputer di depannya.
Di pintu ruangan ini ditempel kertas kertas putih bertulisan “Sekretariat Ormas Persatuan Indonesia (Perindo)”. Ormas ini didirikan Harry Tanoesodibjo setelah keluar dari Partai Nasdem. Ormas ini bermarkas di bekas Museum Adam Malik.
Berjalan terus ke pintu belakang terlihat halaman luas. Pohon mangga dan rumput liar tumbuh subur di halaman belakang ini. Rumah ini memiliki teras yang menghadap halaman belakang.
Di sisi diletakkan empat meja kayu. Meja-meja disusun membentuk meja besar. Kursi-kursi memenuhi sisi-sisi meja. Tumpukan koran digeletakkan di atas meja.
Bekas botol minuman, cangkir kotor bekas kopi dibiarkan begitu di meja ini.
Seorang pria bertubuh gempal, mengenakan kaos berwarna kuning bergaris putih dan ungu terlihat sedang berbincang dengan pria lainnya di teras ini. Pria itu adalah Muhammad Sopiyan. Ia ditunjuk menjadi kepala sekretariat Persatuan Indonesia (Perindo).
Menurut bekas aktivis itu, rumah ini sedang direnovasi agar layak digunakan untuk jadi markas Perindo. “Biar tampak makin elegan dan makin pas disebut sebagai kantor,” ujar Sopiyan.
Lelaki berusia 32 tahun itu memantau renovasi rumah ini. Menurut Sopiyan, bangunan yang akan dijadikan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perindo adalah bekas Museum Adam Malik. Museum yang tutup sejak tahun 2000-an itu kemudian dibeli Harry Tanoe.
Di tempat inilah bos MNC Grup itu mengumumkan mundur dari Partai Nasdem 21 Januari lalu. Setelah mundur dari partai yang dipimpin Surya Paloh, Harry Tanoe memutuskan membentuk Perindo.
Ia merangkul bekas aktivis dan tokoh muda untuk bergabung di ormas yang dibentuknya. Ia juga mempersilakan bekas Museum Adam Malik dipakai untuk aktivitas Perindo.
“Mungkin dalam satu dua bulan belum bisa rampung semuanya. Sebab, akan ada beberapa ruangan baru nanti yang akan dibangun,” kata Sopiyan.
Dulu, di sini ada beberapa ruangan yang dibangun menempel dengan tembok pembatas. Kini, bangunan itu telah dibongkar. Rencananya lahan itu akan dipakai untuk tempat parkir.
Sopiyan mengatakan, bagian dalam bangunan gedung Museum Adam Malik ini akan dipermak. Lantai satu akan dijadikan kantor sekretariat, longue dan aula.
“Sedangkan di lantai dua, nantinya untuk ruangan ketua umum dan pengurus,” ujarnya.
Pernah Jadi Tempat Tim Verifikasi Partai Nasdem
Muhammad Sopiyan mengaku turut membidani lahirnya ormas Nasional Demokrat—cikal bakal Partai Nasdem. Ia memutuskan hengkang dari Nasdem mengikuti jejak Harry Tanoe.
Ketika bos MNC Grup itu mendirikan ormas Persatuan Indonesia (Perindo), Sopiyan ditunjuk sebagai kepala sekretariat DPP Perindo.
“Visi misi restorasi yang kita perjuangkan telah diciderai dan diselewengkan.
Awalnya kita hendak mendidik masyarakat juga secara demokratis, tetapi nyatanya diperlakukan secara tidak demokratis,” kata Sopiyan menjelaskan alasannya keluar dari Nasdem.
Sopiyan menceritakan, sejarah Partai Nasdem juga dibangun dari bekas Museum Adam Malik yang kini jadi markas Perindo. “Di sinilah, di gedung ini, menjadi pusat atau sentral proses verifikasi Partai Nasdem, hingga lolos di KPU dan dinyatakan menjadi peserta Pemilu 2014,” tuturnya.
Menurut dia, saat merintis gerbong ormas Nasdem, para anak muda bekerja keras dan membangun jaringan sampai ke daerah-daerah, tanpa digaji.
“Nyatanya visi dan misi itu pun kini telah jauh dari harapan. Harapan kita bahwa anak-anak muda akan maju, rupanya dicaplok kaum tua yang paranoid,” ujarnya.
Setelah memutuskan mundur massal dari Nasdem, para aktivis dan pemuda itu kembali berkumpul dan sepakat membentuk ormas. Mereka difasilitasi Harry Tanoe—yang merasa tak cocok lagi dengan Surya Paloh.
Rencananya, Perindo dideklarasikan pada 24 Februari mendatang di Istora Senayan. “Teman-teman di daerah-daerah selalu melaporkan perkembangannya. Setiap hari kegiatan kami di sini juga mempersiapkan deklarasi, tentu juga sembari membenahi sekretariat ini,” kata Sopiyan.
Koleksi Prasasti Kunonya Dilego Di Jalan Surabaya
Museum Adam Malik menempati kediaman bekas presiden itu. Setelah Adam Malik wafat, pihak keluarga memutuskan menjadi rumah ini sebagai museum.
Museum ini diresmikan 5 September 1985 oleh Ibu Tien Soeharto setahun setelah Adam Malik wafat. Pengelola museum ini di bawah Yayasan Adam Malik.
Pada masanya, Museum Adam Malik merupakan museum swasta terbesar di Jakarta. Museum itu memiliki beragam koleksi, yang bisa dibagi dalam 13 jenis. Yakni lukisan non-Cina, lukisan Cina, ikon Rusia, keramik, buku, senjata tradisional, patung batu dan logam, ukiran kayu, batu permata, emas, tekstil, kristal, dan fotografi.
Koleksi benda-benda arkeologis di museum itu lumayan banyak. Diantaranya arca Ganesha, arca Bhima, benda prasejarah, arca Buddha Aksobhya, lingga, Dewi Durga, dan Dewa Siwa. Koleksi yang dipandang adikarya adalah keramik Cina yang berasal dari Makassar dan situs Buni (Bekasi, Jawa Barat). Koleksi paling spektakuler adalah prasasti Sankhara yang diperkirakan berasal dari abad ke-8.
Sayang tahun 2000-an yayasan mulai kembang kempis membiayai museum ini. Biaya mengelola museum ini mencapai Rp 50 juta per bulan. Untuk bayar gaji karyawan dan merawat koleksi museum. Sementara Pemerintah sudah tak lagi mengucurkan bantuan kepada museum ini. Pada 2006, museum ditutup. Tulisan “Museum Adam Malik” di dinding bundar dicopot.
Menjelang ditutup, pihak yayasan pernah menawarkan koleksi museum ini ke pemerintah. Namun tak ada respons positif. Akhirnya, koleksi museum mulai dilego ahli waris sedikit demi sedikit. Koleksi lukisan dijual ke toko barang antik Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.
Koleksi buku dijual ke pedagang buku bekas di Pondok Pinang, Ciputat tahun 2003. Koleksi lain dijual di Bali dan kepada kolektor asing.
Kabarnya, prasasti Sankhara dijual ke tukang loak yang lewat di depan museum.
Namun ada yang menyebut, prasasti dari zaman Syailendra—penggagas pembangunan Candi Borobudur—itu ada di tangan kolektor dari Itali. Sampai sekarang keberadaan prasasti itu belum terlacak. [Harian Rakyat Merdeka]
http://www.rmol.co/read/2013/02/15/98501/Bekas-Museum-Adam-Malik-Dijadikan-Markas-
Sisi kiri rumah yang berdiri di atas lahan seluas 3.000 meter persegi itu berbentuk bundar. Dindingnya dipenuhi jendela dan kaca, khas bangunan tempo dulu.
Rumah ini dikelilingi pagar tembok yang dicat putih. Pagar yang tinggi menghalangi pandangan dari luar. Beberapa pepohonan keras terlihat tumbuh berjejer di depan pagar yang dijadikan pedestrian.
Gerbang besar dari seng yang dicat biru menutupi jalan masuk ke rumah ini. Gerbangnya tak dikunci tapi ditutup rapat. Saat dibuka terlihat pos jaga di sebelah kanan pekarangan. Pos ini ditunggui dua orang sekuriti.
Pekarangan rumah ini cukup luas. Di bagian kanan yang menempel dengan depan pembatas rumah sebelah, terlihat ada bekas bongkaran bangunan. Namun puing-puing bekas bongkarannya sudah diangkuti. Beberapa pekerja bangunan terlihat sibuk membersihkan area itu dari sisa-sisa bangunan.
Pohon mangga, jambu biji dan beringin yang tidak terlalu besar, tumbuh subur di pekarangan. Pohon-pohon berbatang keras itu ditanam membentuk barisan memanjang ke belakang.
Beberapa terlihat mobil parkir di halaman rumah tua ini. Seorang petugas sekuriti buru-buru menutup pintu gerbang, lalu bergegas memasuki gedung hingga ke bagian belakang, menemui seseorang.
Kesibukan tidak hanya di luar, dari dalam rumah terdengar raungan mesin. Empat pekerja terlihat sedang memoles lantai yang terbuat dari marmer. Cairan putih dilumurkan ke marmer. Mesin pel besar dipakai untuk mengosok-gosokan cairan itu di atas marmer hingga mengkilat.
Ruangan yang lantai marmernya sedang dipoles itu terlihat remang. Penerangannya menggunakan dua lampu kecil. Sinar matahari yang menembus jendela membantu penerangan di situ.
Bagian dalam rumah itu dicat putih. Namun catnya sudah kusam. Tangga besar yang juga dilapisi marmer berada di depan ruangan yang mirip aula itu.
Di lantai satu, ada tiga kamar ukuran besar, berjejer di sebelah kanan. Dua kamar tertutup rapat. Kamar di bagian tengah terlihat terbuka. Melongok ke dalam tampak dua pria memandangi layar komputer di depannya.
Di pintu ruangan ini ditempel kertas kertas putih bertulisan “Sekretariat Ormas Persatuan Indonesia (Perindo)”. Ormas ini didirikan Harry Tanoesodibjo setelah keluar dari Partai Nasdem. Ormas ini bermarkas di bekas Museum Adam Malik.
Berjalan terus ke pintu belakang terlihat halaman luas. Pohon mangga dan rumput liar tumbuh subur di halaman belakang ini. Rumah ini memiliki teras yang menghadap halaman belakang.
Di sisi diletakkan empat meja kayu. Meja-meja disusun membentuk meja besar. Kursi-kursi memenuhi sisi-sisi meja. Tumpukan koran digeletakkan di atas meja.
Bekas botol minuman, cangkir kotor bekas kopi dibiarkan begitu di meja ini.
Seorang pria bertubuh gempal, mengenakan kaos berwarna kuning bergaris putih dan ungu terlihat sedang berbincang dengan pria lainnya di teras ini. Pria itu adalah Muhammad Sopiyan. Ia ditunjuk menjadi kepala sekretariat Persatuan Indonesia (Perindo).
Menurut bekas aktivis itu, rumah ini sedang direnovasi agar layak digunakan untuk jadi markas Perindo. “Biar tampak makin elegan dan makin pas disebut sebagai kantor,” ujar Sopiyan.
Lelaki berusia 32 tahun itu memantau renovasi rumah ini. Menurut Sopiyan, bangunan yang akan dijadikan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perindo adalah bekas Museum Adam Malik. Museum yang tutup sejak tahun 2000-an itu kemudian dibeli Harry Tanoe.
Di tempat inilah bos MNC Grup itu mengumumkan mundur dari Partai Nasdem 21 Januari lalu. Setelah mundur dari partai yang dipimpin Surya Paloh, Harry Tanoe memutuskan membentuk Perindo.
Ia merangkul bekas aktivis dan tokoh muda untuk bergabung di ormas yang dibentuknya. Ia juga mempersilakan bekas Museum Adam Malik dipakai untuk aktivitas Perindo.
“Mungkin dalam satu dua bulan belum bisa rampung semuanya. Sebab, akan ada beberapa ruangan baru nanti yang akan dibangun,” kata Sopiyan.
Dulu, di sini ada beberapa ruangan yang dibangun menempel dengan tembok pembatas. Kini, bangunan itu telah dibongkar. Rencananya lahan itu akan dipakai untuk tempat parkir.
Sopiyan mengatakan, bagian dalam bangunan gedung Museum Adam Malik ini akan dipermak. Lantai satu akan dijadikan kantor sekretariat, longue dan aula.
“Sedangkan di lantai dua, nantinya untuk ruangan ketua umum dan pengurus,” ujarnya.
Pernah Jadi Tempat Tim Verifikasi Partai Nasdem
Muhammad Sopiyan mengaku turut membidani lahirnya ormas Nasional Demokrat—cikal bakal Partai Nasdem. Ia memutuskan hengkang dari Nasdem mengikuti jejak Harry Tanoe.
Ketika bos MNC Grup itu mendirikan ormas Persatuan Indonesia (Perindo), Sopiyan ditunjuk sebagai kepala sekretariat DPP Perindo.
“Visi misi restorasi yang kita perjuangkan telah diciderai dan diselewengkan.
Awalnya kita hendak mendidik masyarakat juga secara demokratis, tetapi nyatanya diperlakukan secara tidak demokratis,” kata Sopiyan menjelaskan alasannya keluar dari Nasdem.
Sopiyan menceritakan, sejarah Partai Nasdem juga dibangun dari bekas Museum Adam Malik yang kini jadi markas Perindo. “Di sinilah, di gedung ini, menjadi pusat atau sentral proses verifikasi Partai Nasdem, hingga lolos di KPU dan dinyatakan menjadi peserta Pemilu 2014,” tuturnya.
Menurut dia, saat merintis gerbong ormas Nasdem, para anak muda bekerja keras dan membangun jaringan sampai ke daerah-daerah, tanpa digaji.
“Nyatanya visi dan misi itu pun kini telah jauh dari harapan. Harapan kita bahwa anak-anak muda akan maju, rupanya dicaplok kaum tua yang paranoid,” ujarnya.
Setelah memutuskan mundur massal dari Nasdem, para aktivis dan pemuda itu kembali berkumpul dan sepakat membentuk ormas. Mereka difasilitasi Harry Tanoe—yang merasa tak cocok lagi dengan Surya Paloh.
Rencananya, Perindo dideklarasikan pada 24 Februari mendatang di Istora Senayan. “Teman-teman di daerah-daerah selalu melaporkan perkembangannya. Setiap hari kegiatan kami di sini juga mempersiapkan deklarasi, tentu juga sembari membenahi sekretariat ini,” kata Sopiyan.
Koleksi Prasasti Kunonya Dilego Di Jalan Surabaya
Museum Adam Malik menempati kediaman bekas presiden itu. Setelah Adam Malik wafat, pihak keluarga memutuskan menjadi rumah ini sebagai museum.
Museum ini diresmikan 5 September 1985 oleh Ibu Tien Soeharto setahun setelah Adam Malik wafat. Pengelola museum ini di bawah Yayasan Adam Malik.
Pada masanya, Museum Adam Malik merupakan museum swasta terbesar di Jakarta. Museum itu memiliki beragam koleksi, yang bisa dibagi dalam 13 jenis. Yakni lukisan non-Cina, lukisan Cina, ikon Rusia, keramik, buku, senjata tradisional, patung batu dan logam, ukiran kayu, batu permata, emas, tekstil, kristal, dan fotografi.
Koleksi benda-benda arkeologis di museum itu lumayan banyak. Diantaranya arca Ganesha, arca Bhima, benda prasejarah, arca Buddha Aksobhya, lingga, Dewi Durga, dan Dewa Siwa. Koleksi yang dipandang adikarya adalah keramik Cina yang berasal dari Makassar dan situs Buni (Bekasi, Jawa Barat). Koleksi paling spektakuler adalah prasasti Sankhara yang diperkirakan berasal dari abad ke-8.
Sayang tahun 2000-an yayasan mulai kembang kempis membiayai museum ini. Biaya mengelola museum ini mencapai Rp 50 juta per bulan. Untuk bayar gaji karyawan dan merawat koleksi museum. Sementara Pemerintah sudah tak lagi mengucurkan bantuan kepada museum ini. Pada 2006, museum ditutup. Tulisan “Museum Adam Malik” di dinding bundar dicopot.
Menjelang ditutup, pihak yayasan pernah menawarkan koleksi museum ini ke pemerintah. Namun tak ada respons positif. Akhirnya, koleksi museum mulai dilego ahli waris sedikit demi sedikit. Koleksi lukisan dijual ke toko barang antik Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.
Koleksi buku dijual ke pedagang buku bekas di Pondok Pinang, Ciputat tahun 2003. Koleksi lain dijual di Bali dan kepada kolektor asing.
Kabarnya, prasasti Sankhara dijual ke tukang loak yang lewat di depan museum.
Namun ada yang menyebut, prasasti dari zaman Syailendra—penggagas pembangunan Candi Borobudur—itu ada di tangan kolektor dari Itali. Sampai sekarang keberadaan prasasti itu belum terlacak. [Harian Rakyat Merdeka]
http://www.rmol.co/read/2013/02/15/98501/Bekas-Museum-Adam-Malik-Dijadikan-Markas-
Komentar
Posting Komentar